Kamis, 30 Juli 2009
Tim Olimpiade Fisika Indonesia Berhasil Pertahankan Emas
"Kami tidak menemukan kendala karena soal tahun ini lebih mudah dibandingkan tahun lalu," ujar peraih medali emas IPHO ke-40 di Meksiko, Fernaldo Richtia Winnerdy, ketika tiba di Bandara Soekarno-Hatta, di Jakarta, Rabu petang.
Ia mengatakan, kompetisi IPHO 2009 terdiri dari tiga soal teori yang memakan waktu selama lima jam pada tahap pertama perlombaan dan dua soal eksperimen yang juga memakan waktu selama lima jam pada tahap dua. Persentase soal 70 persen untuk tes teori dan 30 persen untuk tes praktikum.
Menurut dia, dalam ajang tersebut negara yang menjadi pesaing tim IPHO Indonesia, antara lain China, Thailand, dan India.
Sementara itu, Direktur Pembinaan SLTA, Dr. Sungkowo, mengatakan prestasi tim IPHO Indonesia tidak melorot karena masih bisa mempertahankan emas dan dari kelima peserta yang mewakili Indonesia pada ajang tersebut, semuanya meraih medali.
"Saya merasa cukup puas dan bangga karena tim IPHO Indonesia bisa mempertahankan medali emas dan semua peserta merebut medali," ujarnya.
Meski negara-negara peserta IPHO sempat diliputi perasaan was-was karena harus berkompetisi di negara Mexico yang diberitakan sebagai tempat permulaan pandemi flu babi (H1N1), akhirnya IPHO 2009 ke-40 berhasil dilaksanakan dengan diikuti 317 siswa dari 71 negara.
Ia menambahkan, siswa yang mendapatkan medali pada kejuaraan IPHO akan diberi beasiswa, di antaranya untuk medali emas akan mendapat beasiswa hingga program S3 dan perguruan tingginya dipilih berdasarkan kehendak siswa.
Peraih medali perak mendapat beasiswa hingga program S2 dan perguruan tingginya juga dipilih berdasarkan kehendak siswa, dan medali perunggu mendapat beasiswa hanya program S1 dan perguruan tingginya hanya di Indonesia yang dipilih oleh pemerintah.
Kelima siswa Indonesia yang meraih medali, yaitu Fernaldo Richtia Winnerdy dari SMAK BPK Penabur, Gading Serpon, Banten meraih emas dengan nilai 38,40. Winson Tanputraman dari SMAK 1 BPK Penabur, Jakarta, meraih perak dengan nilai 32,6.
Selanjutnya, Dzuhri Radityo Utomo dari SMAN 1 Yogyakarta, meraih perak dengan nikai 30,00. Andri Pradana dari SMAK 1 BPK Penabur, Jakarta, meraih medali perak dengan nilai 25,45 dan Paul Zakaria Fajar Hanakata dari SMAN 1 Denpasar, Bali, meraih perunggu dengan nilai 21,75.
"Dengan berhasilnya Indonesia merebut medali emas, tampaknya sedikit mengobati citra Indonesia di mata dunia akibat peristiwa ledakan bom di Hotel JW Marriott dan Hotel Ritz Carlton pada Jumat pagi (17/7).
Ia menambahkan, ke depan pembinaan dan pelatihan harus ditingkatkan, agar tim IPHO Indonesia bisa meraih empat medali emas pada tahun 2007 dalam ajang IPHO ke 37 di Singapura.
Sumber : Antara (22 Juli 2009)
Rabu, 29 Juli 2009
Adakah Tuhan dalam fisika
From : Febdian Rusydi
Rabu, 22 Juli 2009
Skenario Kiamat dalam Fisika: Kiamat di Bumi
Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang Kiamat, "Kapan terjadinya?"
Katakanlah, "Sesungguhnya pengetahuan tentang Kiamat itu ada pada Tuhanku; tidak ada (seorang pun) yang dapat menjelaskannya waktu terjadinya selain Dia. (Kiamat itu) sangat berat (huru-haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi, tidak akan datang kepadamu kecuali secara tiba-tiba."
Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) seakan-akan kamu mengetahuinya. Katakanlah (Muhammad), "Sesungguhnya pengetahuan tentang (hari Kiamat) itu pada Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya."
Keniscayaan terjadinya kiamat juga diamini oleh Fisika. Model Alam Semesta menyaratkan adanya terjadi kiamat (kehancuran), hanya saja dalam Fisika setidak-tidaknya ada tiga jenis kiamat: kiamat di Bumi, kiamat di Tata Surya, dan kiamat di Alam Semesta. Pada tulisan pertama ini akan dibahas tentang kiamat di Bumi.
Kiamat di Bumi
Fisik Bumi
Bumi sampai sekarang adalah satu-satunya planet yang dihuni oleh makhluk hidup dari level rendah (seperti amuba) sampai tinggi (seperti manusia). Dari luar angkasa Bumi terlihat biru (disebut juga planet Biru), tenang dan damai — walaupun polusi sudah sangat parah terjadi di Bumi. Tidak seorang astronotpun yang pergi ke angkasa tidak rindu untuk balik ke Bumi.
Berdasarkan model yang ada, Bumi kita sudah berumur sekitar 4,54 biliun tahun (1 biliun adalah 109). Radiusnya ~6x106 meter dengan massa ~6x1024 kg yang memberi Bumi potensial gravitasi yang kuat untuk tetap berjalan diorbitnya mengelilingi Matahari dan pada waktu bersamaan memegang Bulan untuk mengorbit mengelilinginya.
Ada air yang menutupi ~70% permukaan Bumi yang menjadikan Bumi satu-satunya planet yang memungkinkan untuk ditinggali. Bumi juga memiliki atmosphere yang berlapis-lapis dan sebagian besar dari nitrogen dan oksigen dengan komposisi yang sangat mengagumkan — jika komposisi penyusun atmosfir tidak seperti yang kita punya sekarang, atmosfir bisa meracuni paru-paru kita. Atmosfir selain untuk cadangan udara bernapas, juga untuk melindungi Bumi dari hempasan batu-batu meteor. Bumi juga mengeluarkan medan magnet yang juga menjadi tameng dari efek-efek radiasi yang berasal dari luar angkasa.
Lapisan Bumi
Bumi terdiri dari lapisan-lapisan bebatuan. Secara umum lapisan Bumi bisa dikategorikan dalam tiga bagian: inti (core), mantel (mantle), dan kerak(crust).
Inti Bumi terbentuk saat Bumi terbentuk pertama kali. Dengan ketebalan ~3500 km, ~30% massa Bumi terdapat pada inti ini. Komposisi inti didominasi oleh zat besi (Fe): inti bagian dalam (inner core) adalah besi padat, sedangkan inti luar (outer core) adalah besi cair. Inti luar ini mengontrol Magnet Bumi.
Bagian berikutnya adalah mantel yang berupa batu-batu keras dari silikat (senyawa silikon dan oksigen). Ketebalannya 12.900 Km, sangat tebal. Mantel bagian luar (upper mantle, disebut juga asthenosphere) berupa batu-batu cair (disebut magma) yang sangat panas dan mengalir — panas Bumi berasal dari bagian ini. Pergerakkan magma ini kemudian sanggup menggerakkan bagian lithospere (kulit Bumi). Inilah cikal bakal gempa.
Lempeng Bumi
Lapisan terluar adalah kulit bumi tempat kita "menempel" berupa lempengan-lempangan (plates). Lempengan kulit ini pada dasarnya "mengapung" di atas magma — gunung-gunung yang berada di kulit Bumi berfungsi seperti paku untuk menancapkan lempengan tersebut untuk tidak bergerak terlalu drastis.
Lempeng Bumi memberikan wajah Bumi seperti yang kita miliki sekarang. Tapi karena lempeng Bumi terus bergerak — karena pergerakan magma — wajah Bumi pun terus-menerus berubah, memang tidak dalam waktu yang sebentar. Dulunya Bumi hanya punya satu benua besar, sebelum akhirnya terurai menjadi lima benua seperti yang kita miliki sekarang. Dan mungkin, dalam ratusan tahun ke depan ada pulau yang hilang atau muncul, atau malah mungkin ada benua yang berubah.
Lempengan ini tidak satu utuh seperti kulit bola, tapi terpecah-pecah seperti kulit jeruk yang sudah dikupas dan ditempelkan lagi satu sama lain. Pecahan-pecahan lempengan disebut tektonik. Sambungan lempengan-lempangan membentuk semacam garis di permukaan Bumi, antara lain lempengan Afrika, Antartika, Australia, Eurasia, Amerika Utara, Amerika Selatan, dan lempengan Pasifik.
Sambungan lempengan tersebut ada yang membentuk garis (lihat gambar), di mana pada daerah ini sangat rawan gempa — 90% gempa di Bumi terjadi berasal dari pertemuan lempeng di garis ini. Garis ini disebut juga "cincin api" (ring of fire), dan Indonesia dilewati oleh garis-cincin ini!
Gempa Bumi
Lempengan tektonik tertahan sedemikian rupa sehingga sanggup melawan pergerakan magma di bawahnya. Namun sangat memungkinkan jika kemudian lempengan tersebut bergerak relatif terhadap lempengan yang lain, sehingga dua lempeng bisa saling mendekat (sampai berbenturan), menjauh, atau bergesekan dengan arah paralel. Ini semua menimpulkan getaran keras yang merambat sampai ke permukaan tanah yang kemudian disebut gempa.
Gempa mungkin diikuti oleh empat hal: terbuatnya lembah atau gunung baru, meletusnya gunung, keluarnya magma dari perut Bumi (magma yang sudah keluar dari perut Bumi disebut lava), dan terakhir jika terjadi di dasar laut mengakibatkan tsunami.
Pergerakan magma yang terus menerus membuat kulit Bumi selalu dalam proses evolusi. Konsekuensinya potensi gempa selalu tinggi untuk terjadi. Gempa sudah terjadi semenjak Bumi terbentuk dan akan terus terjadi. Gempa-gempa kecil selalu terjadi di sepanjang cincin-api, gempa besar memang jarang tapi terjadi secara berulang (berperiodik).
Kerusakan gempa pada sebuah kota tidak hanya bergantung pada kekuatan gempa (biasanya diukur oleh satuan Skala Richter, SR), tapi juga seberapa jauh kota tersebut dari pusat gempa (episentrum) dan bagaimana tanah itu bergetar. Karena alasan itu gempa di Jogja pada Mei 2006 yang "hanya" berskala ~5.5 SR relatif lebih menghancurkan daripada gempa di Bengkulu September 2007 kemarin.
Bahaya sekunder gempa (seperti gunung meletus dan tsunami) juga tidak kalah berbahayanya. Masih jelas ingatan kita kedahsyatan tsunami di Aceh akhir tahun 2005 dan kemudian di Pangadaran di awal tahun 2006. Atau bagaimana dahsyatnya (walau kita hanya mendapatkan ceritanya saja) letusan gunung Krakatau pada tahun 1889, menyemburkan batu-batu besar baik berupa cair (lava) dan padat. Di kampung ayah saya, Pasir laweh (Batu Sangkar, Sumatera Barat), masih bisa disaksikan bongkahan-bongkahan batu sebesar rumah tipe 45 bertingkat dua yang berasal dari letusan gunung Merapi pada tahun 1975.
Gempa dan bahaya sekunder gempa lainnya sangat berpotensi menghabiskan umat manusia dan segala peradabannya. Kita tahu tapi sampai sekarang kita tidak mampu berbuat apa-apa. Kalau sekarang kita sudah sanggup dengan baik memprediksi iklim dan cuaca (termasuk memperkirakan kedatangan angin topan) dan juga sudah punya cara meminimalisir kerugian badai, tapi tidak ada yang bisa kita lakukan terhadap gempa. Ilmu dan teknologi kita belum sanggup untuk memprediksi gempa, apa lagi mengatasi gempa. Jika gempa terjadi, hanya diam yang bisa kita lakukan. Jelas sekali ketidakberdayaan manusia di sini.
Artikel terkait di febdian.net: Gempa: Bagaimana, Mengapa, dan ApaGempa dan Gravitasi
Saya belum menemukan literatur yang membahas tentang pengaruh gempa pada gravitasi di permukaan Bumi. Namun, saya berpendapat (hipotesis) bahwa ada perubahan kerapatan gravitasi yang terjadi pada wilayah yang terjadinya gempa.
Jika pada kondisi normal (tidak gempa) gaya gravitasi Bumi seragam menuju ke pusat Bumi, tidak demikian adanya pada kondisi gempa. Ketidakseragaman ini membuat kita kehilangan keseimbangan, baik kita sedang menyentuh tanah atau tidak. Jika ketidakseragaman ini besar, mungkin mampu menggeser objek-objek yang berat seperti gunung sekalipun.
Ini adalah sesuatu yang menarik untuk diteliti. Mungkin ada para pembaca yang tertarik untuk melakukan riset ini, saya tidak keberatan untuk bergabung.